Thursday, April 28, 2005

"......."

09.30 pm

“Beep…beep..!” (cellphone ringing)
“Yes, hello!”

“Hi!”
“Who’s this?”

“It’s me,”
“Heiii, wussup?,”

“Where are you?”
“Im in CO2 cafĂ©. As usuall, workin late,”

“I see that. So, how are you?”
“Im fine. Thanks for asking, and you?”

“Yea, same thing. Hei, about the SMS that you sent to me early In the morning, how do you know?”
“Well, I have lots of sources, hehehe. As a matter of fact, I know his ex. She used to be a reporter in XXX newspaper,”
“And…??”

“And what?”
“Is it true? Is he your boyfriend? His name is XXX right? Correct me when im wrong!”

“No, he’s not my boyfriend,”
“Oh. My mistake, then. So who’s this lucky man?”

“Im not finish yet, uhm, he’s my future husband,”
“....”
“Ow. Uh, uhm, I..i.. didn’t know that,”
“Uhm, well…congrats. I guess its a good news, no i mean its great. So, when? this year?”

“I don’t know, we haven’t decide it yet,”
“So I see..”

“How about you?”
“Me??? Well, still the same person as used to be. Still no commitment yet. yup, that’s me,”

“Could you do me a favour?”
“Sure thing. Just name it,”

“When u see his ex, don’t tell her about this, okay?”
“Sure, why should i? After all, I haven’t saw her again like for almost 2 years now. And if we do meet, I doubt that she will recognize me,”

“Oh. Alright then. Thanks, you’re a good friend,”
“.... yeah, sure. that’s me, he-he,”

“You know, he already know your name,”
“Oh. really? How come?”

“Well, I miss spell his name with yours. Hihi. After that, we have a big fight, hihihi,”
“Ow, is that right? He-he,”

“Yes, and he said hi to you,”
“Uh, well, how nice of him. Uhm, wait-wait, when you two get…. so, who will…? I mean you two work in the same company right?”

“Well I guess its me then,”
“Uh-huh…so I see,”

“Mmm, am I interrupting something? Is it okay that I called you now?,”
“Well, uhm, you know, uh, to be honestly you called in a very bad moment,”
“Oh, im sorry, alright then, ill see you around,”

“Yeah. It’s okay. Thanks for calling, though. Well, I guess, goodluck with your man. And…. Im waiting for the invitation,”
“Thanks,”

“Click”. (hang up the cellphone)
“Yeah. Sure,”

Wednesday, April 27, 2005

God is My Boss

Gw pernah bertanya kepada seorang teman. ”Gimana rasanya kerja di tempat lain? Pasti lebih enak ya?”

Biasa. Rumput tetangga kan selalu terlihat lebih hijau. Kebetulan lagi, teman gw itu pernah bekerja di stasiun televisi kepunyaan perusahaan raksasa tempat gw bekerja. Sekarang dia kerja di bank.

Jawabannya, cukup mengusik gw untuk menulis post ini.

Ia menjawab, “Ah, nggak juga kok. Kerja dimanapun tetap sama. Sampai kapanpun tetap jadi babu, tetap disuruh-suruh!”.

Hmm, oke. It make sense, though.

Betapapun kerasnya kita kerja, betapapun banyak keringat yang kita keluarkan, apa lantas kita kaya? Tentu tidak. Apa yang kita terima tetap sama, ya..paling nambah2 dikit lah.

Yang diuntungkan, ya tentu saja si pemilik modal alias para kapitalis. Belum lagi kalau ternyata keringat kita itu tidak dihargai, justru malah dikurangi? Damn. Its hurt so bad man!

Sementara nasib kita? Kurang lebih sama. Kita hanya alat, yang sewaktu-waktu bisa dibuang apabila sudah dianggap tidak produktif atau memiliki fungsi guna lagi. Begitulah, mungkin cara kerja sistem kapitalisme.

Ok, enough about capitalism. Gw ingin blog ini tetep menjadi blog sederhana, tanpa politisasi, justifikasi, atau pembahasan masalah2 berat yg bikin otak mengerinyit. Pada dasarnya gw hanya ingin membuka pikiran aja.

Lanjut.

Kalau gw amati, hidup di kultur masyarakat kita sudah begitu terpola. Kita bersekolah, SD, SMP, SMA. Lanjut ke kuliah. Lulus, nyari kerja. Jadi pegawai/karyawan, kawin, punya anak, mati.

Gw jadi inget sebuah joke sindiran, yang diceritakan seorang teman. Ingat, tak ada tendensi rasialisme disini. Gw bukan orang rasis!

Bila ada 2 orang Jawa yang lama tidak bertemu, pertanyaan yang muncul pasti seperti ini :
”hai, sekarang kerja dimana?”
Lain lagi, kalau 2 orang Chinese yang bertemu. Pertanyaannya :
“hai, sekarang lagi usaha apa?”

Nah. Ketahuan kan bedanya?

Yang gw amatin, kultur masyarakat Jawa seakan mengharuskan seseorang untuk bekerja, bukan berwiraswasta.

Dan, kalau sudah bekerja pada orang lain, hasilnya ya kurang lebih seperti yang dituturkan teman gw diatas. “Dimanapun sama saja, tetap menjadi babu yang disuruh-suruh!”.

Belum lagi bila ada masalah dengan bos, belum lagi sikut-sikutan antar teman sekerja, kurang puas ini-itu, iri sama ini-itu. Hasilnya, terjadi gap-gap. Yang satu bela ini, yang satu bela itu. Akhirnya, tiap hari rasan-rasan. Paling suka kalau ada gosip baru. “Wah, si A mau di ini, wah, si B baru saja di itu”.

Damn.

Sometimes im just sick and tired of it, man. Apalagi, kalau ngelihat seseorang diperlakukan tidak semestinya, atau seseorang yang berusaha menjilat pantat demi mengamankan posisi.

Yup, beginilah pahitnya dunia kerja. Jadi, for u fresh graduate, jangan mau jadi pegawai! Hauhauha.

Ketika gw masuk kembali ke perusahaan gw. Beberapa orang menemui gw, dan mengatakan hal yang sama, “man, you better get out soon after you get the chance, never get in to deep. You will regret it!”. Huhu.

Ehm. Gw jadi inget bokap. Dulu bokap kerja di salah satu perusahaan elektronik di kawasan Waru, Sidoarjo. He’s working there for like more than 16 years, hingga akhirnya memutuskan untuk keluar.

Langkah berani bukan? Padahal waktu itu gw masih SMA. Dan, kakak gw juga masih kuliah.

Lalu, mengapa bokap seberani itu? Pada dasarnya, inti permasalahannya hampir sama. Bokap sudah capek. Capek dengan semua yg gw sebutin diatas. Apalagi, salah satu bosnya juga benci sama dia. Soalnya, anak buah lebih nurutin perkataan bokap daripada perkataan si bos.

Waktu pertama membuka usaha sendiri dirumah, memang sulit. Bokap jadi sering uring-uringan. Apalagi, waktu itu gw kelas 3 SMA. Waktu gw lagi bandel-bandelnya.

Tapi toh, masa-masa berat itu akhirnya terlewati juga. Sekarang, usaha bokap sudah berjalan. Hasilnya memang nggak besar. Toh, masih cukup buat makan dan hidup sehari-hari secara sederhana.

Suatu saat, beliau berujar kepada gw, “ya, usaha ini papa bikin, niatnya nggak muluk2 kok. Supaya kita bisa makan. Papa juga pengin ngebuka lapangan kerja!”. Itu salah satu hal yg ngebuat gw begitu mengagumi figur bokap gw. Huhu.

Perubahan perilaku bokap juga gw amatin berubah drastis. Dulu waktu masih ikut orang, setiap pulang, bokap selalu curhat sama nyokap. Dia cerita kondisi perusahaan, yang ada masalah ini-itu. Wajahnya juga jarang tersenyum. Selalu terlihat suntuk dan banyak pikiran.

Sekarang, bokap terlihat lebih “hidup”, If you know what im sayin. He looks more cheerfull. Dia bisa tidur siang, bisa nonton tipi kapan aja, lebih banyak waktu sama nyokap, pokoknya benar-benar menjadi bos untuk dirinya sendiri.

Tapi memang, berwiraswasta itu nggak mudah. Butuh kebranian ekstra besar, butuh usaha superkeras. Nggak semua orang berani melakukannya. Kebanyakan lebih memilih cara aman, cara gampang, ya dengan jadi pegawai itu.

Gw bukan sok tau, sok wise. Tapi, ini yg gw rasain sendiri. Gw sempat mau buat majalah sendiri. Tapi, ternyata nggak semudah yang dikira. Sulit banget ngebuat tim work yang cocok dan se-ide.

Gw bikin PH desain, dan “memperkerjakan” teman2 gw yg kebanyakan desainer. Nyatanya, sulit banget mencari klien. Terus terang, karena gw lemah dibidang marketing. Baru gw sadari, ketika berwiraswasta, marketing adalah segalanya.

Akhirnya gw pun menyerah, memilih untuk kembali “kerja”. Toh, umur gw masih muda. Gw pengin berkeliling dulu. Gw pengin mencari keahlian dan pengalaman sebanyak-banyaknya. Setelah itu, gw pengin buka usaha aja.

Usaha apa? Gw belum tau. Sampai sekarang pun, otak gw masih terus berpikir dan berputar. Yang terpenting, “do what u like, like what u do”. Apapun yang nantinya gw lakuin, gw pengin ngelakuinnya dengan senang hati dan se-iklash mungkin.

Cita-cita gw, gw ingin banget, ketika suatu saat ada orang bertanya, kamu kerja dimana? Atau Siapa bos kamu?

Gw menjawabnya dengan, “saya kerja untuk diri saya sendiri dan bos saya adalah Tuhan!"

Tuesday, April 26, 2005

In This Diary

Warning! Post ini agak panjang, jadi baca kalau lagi nganggur aja! Hehe.

Gw inget satu kejadian unik.
Udah agak lama sih. Tepatnya waktu nunggu Hughes di periksa di porles ketika ngelaporin suaminya, si Avin, beberapa waktu lalu. Pemeriksaannya lama banget. Dia dateng jam 5 sore, sementara selesai diperiksa sekitar jam 1 malem. Parah.

Sekitar jam 11 malem, para wartawan yg nunggu udah pada bete. Porlesnya pun sepi banget. Ada yang tiduran, duduk2, ngerokok, ngobrol, dsb2. Kebetulan, ada satu ruangan ber-AC, kosong, ditinggal pulang polisi yg jaga. Gw pun duduk2 sambil mencoba memejamkan mata. Njrit, cape banget. Apalagi badan gw panas dingin masuk angin.

Diruangan itu ada 2 wartawan co-ce yg lagi ngobrol. Iseng-iseng, gw mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Toh, mau tidur juga nggak konsen.

Si cowok, kulitnya item, pipinya tembem, usia kira2 26-27-an. Si cewek, kriting, rambut dicat kepirang-pirangan, kulit putih, n berkacamata. Dari yg gw tangkep, si cewek lagi curhat masalah mantan cowoknya. Huhu, ternyata asyik juga nguping omongan orang lain.

Ceritanya panjang banget. Mulai si cewek yang butuh cowok baru, tapi bingung milihnya. Dan si cowok yang berusaha memberikan nasehat dan masukan2 gitu. Padahal sih, gw pikir si cowok itu naksir si cewek. Cuma, dia bersikap jaim, sok dewasa gituh. Wakakaka.

Eniwei, yg menarik pas ada obrolan tentang diary. Diary?

Cowok : loe sering nulis diary nggak?
Cewek : emmm, ya lumayan sih. Gue ada buku gituh. Diary gw dari SMA. Sekarang udah jarang nulis lagi. Mang napa?
Cowok : coba deh, loe baca diary-diary loe yang dulu. Pasti loe dapet sesuatu dari sana. Soalnya, hidup itu kan berputar kayak roda. Masalah yang loe alami sekarang, pasti dulu itu sudah pernah loe alami sebelumnya. Dengan loe baca, loe jadi tau gimana nyeleseinnya. Misalnya, oh dulu gue kayak gini, sekarang harusnya begini. Itu gue lakuin, dan memang bermanfaat banget.

Well..well..look whos talking?
Akhirnya, gw pun mencoba melakukan tipsnya. Kebetulan, gw selalu nulis diary di computer. Dan, file diary itu rasanya udah gw transfer dari PC ke laptop. Pas gw cari, ternyata ketemu!!

Wow, ternyata gw udah mulai nulis2 sejak September 2001. lama juga ya. Waktu itu status gw masih mahasiswa newbie, baru suka sama nulis, baru mulai kerja jadi surveyor di JP. Dan, barusan putus! Hauauhau.

Eh bener lho, ternyata asik juga baca diary. Nge-flashback, dan memorize semua kenangan2 lama gituh. Gimana metamorfosis gw dulu, sampai sekarang. Sambil ngebayangin gitu, waktu nulis artikel itu kita lagi gimana, kayak apa, wakakaka. Mirip lorong waktunya Doraemon. Masih inget kan? Yang lewat lacinya Nobita itu. Huhu.

Waktu gw baca, jadinya kayak orang bego. Ketawa2 sendiri, diem lama banget, ngelamun. Huhu. Yang unik, mungkin kehidupan cinta gw yang selalu berakhir tragis. Wakakaka. Dan tampaknya keputusan gw untuk nggak pacaran dulu kayaknya tepat. Terutama setelah ngelihat betapa menderita dan frustasinya gw saat putus. Hauhuaha. Damn, love can be pain in the ass!

Ya, life is always change. Roda kehidupan selalu berputar. Huhu, apaan sih Sotoy banget sih. Eit-eit, gayanya udah pake bahasa2 Jakarte segala. Emang apaan sih sotoy?
Sotoy itu orang bawa motor yang suka nganter-nganterin orang. Eh, itu sih ojek. Wakakaka, gak nyambung jek! Garing ah.

Ehm. Sotoy itu katanya sih sok tahu. Hehe. Gw mulai mempelajari beberapa bahasa slang-nya AGJ (Anak Gaul Jakarte), cieeh. Wekeke. Contohnya nih :

“Anjiiiriitt, baksonya nampooool bangeet!!”
artinya : baksonya ueenaak tenaan!
“ah, lagu lu jadul banget sih!
Artinya, ehm, ini gw baru tahu singkatannya 2 hari yg lalu. Jadul = jaman dulu. Wakakaka. Bego.
“iya, si A itu orangnya songong banget!”
Artinya : si A tuh sombong banget, sok, dsb.
“oh gitu ya, udah mulai tengil ya loe skarang!”
artinya : oh, sekarang udah mulai badung, nakal, bandel loe sekarang.
“yok kita nyari jablay yok!”
artinya : yok nyari perempuan panggilan yok. Jablay = perex. Huhu.
“Bang beli udutnya dong!”
artinya : udut = rokok, oncor,

hehehe. Lumayan kan. Sekarang kalo ngomong gw juga mulai menggunakan logat Jakarta, meski kadang2 masih suka kumat medoknya. Iya nih, gimana gak, gw asli kelahiran Surabaya. Dan, tahu sendiri kan, orang Surabaya itu medoknya paling parah. Huhu. Jadi, seringnya pas lagi ngomong pake bahasa gue loe gue loe, tiba2 medoknya muncul. Huhu. Agak malu juga sih.

Awal2 di Jakarta, gw juga agak kagok. Soalnya, ternyata guyonan Surabaya gw gak nyambung. Begitu gw bercanda, eh gak ada yg ketawa. Hehe, tapi sekarang udah lumayan. Guyonan garing gw udah mulai diterima. Huhu.

Tapi, logat Jakarta nggak begitu enak dilafalkan gitu. Gw nggak bisa los kayak ngomong logat jawa. Ngomongnya masih ditahan-tahan. Gak bisa lepas.

Biasanya disetiap omongan yang keluar selalu diakhir dengan kata “cuk”, “mbut”, “su”, “jeh”, “tel” atau “dhus”.

Sekarang ganti jadi “njriit”, “njing”, “nyet”, huhu.

Whats up Bob?

Pas nyari2 file diary gw, gak sengaja gw nemuin file lama. Ini tulisan gw pas lagi nggak kerja. Dan, pas lagi semangat2nya untuk bikin majalah sendiri. Lumayan juga ternyata. eh waktu itu gw masih ngerokok mild merah, bukan LA menthol.hehe. eniwei, check out!

Bob Marley
Ganja, Bola, dan Reggae
Words by dan evil

Ketika di-order untuk menulis Bob Marley, saya bingung. Apa yang harus ditulis?, semua orang tahu Bob Marley, semua sudah hapal lagu-lagunya, semua sudah tahu sejarahnya.
Lama, saya pandangi poster raksasa si Bob di dinding kamar. Ia sedang tertawa bahagia, menghisap selinting ganja. Saya kemudian menyalakan sebatang A Mild merah (bukan ganja!) dan menggerak-gerakkan mouse di layar kompie, mencoba men-search file-file lama. Hmm, tetap tak ada yang menarik.
Hisap rokok dalam-dalam, dan ambil sekaleng bir bintang. Lalu, buka winamp dan pasang lagu I Shoot the Sheriff. Hmm...

Sheriff John Brown always hate I,
for what, I never know.
Everytime I plant a seed,
he said, kill it before it grow.
He said, kill them before they grow.

Tak sampai 30 detik, tiba-tiba saja ide itu muncul. Ada apa di balik Bob Marley yang legendaris?

Bob yang gila bola
Tak banyak yang tahu, bila Bob adalah seorang gibol (gila bola). Dalam wawancaranya di berbagai media luar negeri, pria kelahiran 6 Feb 1945 selalu berkata ingin menjadi pemain bola profesional apabila ia tidak lagi menyanyi. Teman terdekatnya, Alan ”Skill” Cole pun merupakan seorang pemain bola profesional.
”Saya punya 2 ambisi : reggae dan sepak bola,” tuturnya. Pernah juga dia bilang ” football is freedom”. Saat ia tur, lapangan bola tak pernah jauh dari venue tempatnya bermain. Ia selalu menyempatkan diri untuk bermain sepak bola, entah sebelum konser, di backstage, atau bahkan saat soundcheck. Bus tur cowok bernama lengkap Robert Nesta Marley itu pun selalu dilengkapi dengan TV agar ia bisa melihat pertandingan sepak bola kesayangannya.
Sebaliknya, saat bermain bola, gitarnya juga tak pernah jauh. Musik dan bola seakan tidak bisa dipisahkan dalam hidupnya.

Sang pembela ganja
Ada satu album Bob dalam bahasa Jamaica, yang judulnya Kaya. Artinya kurang lebih sama dengan cannabis, hemp, marijuana, ganja, cimeng, begut, atau ijo. Senyatanya, Bob sangat membela ganja. Bahkan, ia menyamakan orang yang mengutuk ganja sama dengan pemfitnahan.
”Bagaimana mungkin tanaman yang diciptakan oleh Tuhan disebut ilegal oleh manusia? Apakah manusia dapat mengatakan pada Tuhan kalau ganja itu ilegal?,” katanya pada seorang wartawan Kanada. ”Kalau tanaman ganja dianggap kejahatan oleh hukum manusia, berarti Tuhan yang menciptakan tanaman juga seorang kriminal?,” jawabnya enteng.
Kamu tahu apa arti lirik I Shot the Sheriff? Lirik itu bercerita mengenai petani ganja yang diburu oleh sherif fanatik. Lirik lagu itu ditulis Bob karena kemuakannya dengan polisi atau sheriff yang menangkapi pemakai atau petani ganja.

Maryuana + football = DEAD!
Yup, ganja dan bola jugalah yang akhirnya merenggut nyawa Bob. Saat bermain bola dan terkena tackle, kakinya terluka. Anehnya, luka itu tak kunjung sembuh. Tapi ia tak berhenti meneruskan hobinya. Ia tetap bermain bola beberapa jam sehari.
Ketika luka itu kian membesar, Bob menolak kakinya di amputasi. Ia tak ingin anggota tubuhnya dihilangkan. Luka itu, akhirnya berubah menjadi kanker dan menyerang anggota tubuhnya yang lain, termasuk otak!.
Yang luar biasa, ia bisa bertahan selama dua tahun melawan kanker ganas itu. Padahal beberapa ahli medis saat itu memprediksi Bob umur Bob tak lebih dari 6 bulan.
Beberapa menganggap karena diet ketat yang ia jalani. Sebagian lainnya beranggapan karena pengobatan medis oleh Dr. Issel di Bavaria. Yang lebih ekstrem, ada yang menganggap itu karena efek reduksi mariyuana yang ia konsumsi. Bob Marley akhirnya meninggal pada 11 Mei 1981 dalam usia cukup muda, 36 tahun.

Btw, setelah gw baca2 tulisan2 gw, ternyata gw punya cita2. Dulu gw terinspirasi dengan film Blue Crush. Filmnya bagus banget. Kira2, ini cita2 gw, gw ambil tanpa edit dari diary gw :

“Aku pengen kerja di Bali ato lombok, kerja jadi penulis dan fotografer. Pagi2 ke pantai naik mobil, lari2, liat ombak, sambil liat bule2 cakep baru bangun. WOOOOOHHH!
Siang, kerja di kantor, foto2 anak skate di doublesix.
Malem, dugem, mabok ganja dan miras, bule, girls, hotel, AAARRRHHHGGGG!!!!!!
Man, that’s a life”

Hauhauhaua. Kira2, bisa nggak ya cita2 itu kesampaian? Hiks.

Nasib Sinetronku

Gw jarang banget liat tipi. Ya selain males, nggak ada waktu aja. Paling yang diliat acara berita, atau kalo gak MTV dan acara musik lainnya.

Gw paling anti sama yang namanya sinetron. Ya, kadang-kadang ngelihat juga sih. Tapi, bukan ceritanya. Pemain2nya yang cakep-cakep. Ex : Nia Ramadhani (kecil2 cabe rawit, hot! huhu), Lyra Virna (damn, so sexy), ato Dhini Aminarti (ehm, cerminan ce idaman gw : rambut lurus, putih, manis). Huhu.

Selain itu, ya numpang lewat ajah. Aktingnya? Boro2. Kadang gw sampe bingung ngelihat sinetron kita. Emang sinetron2 itu ada yg nonton gitu? Lha wong ceritanya uaneh dan gak masuk akal, aktingnya super biasa (nangis aja pake tetes mata), yang main juga itu-itu lagi.

Kalau gw lihat2, sinetron kita itu punya beberapa ciri.
Satu, hampir selalu ceritanya gak masuk akal. Ini, pernah gw tanyain ke Manoj Punjabi, anak Raam Punjabi sekaligus bos MD Entertainment (salah satu PH yang paling getol memproduksi sinetron gak masuk akal).

Trus, apa jawaban dia? “Ya karena semakin nggak masuk akal ceritanya, ternyata masyarakat Indonesia semakin suka!”. Damn. What can I say more? Semakin bagus rating, samakin banyak pemasang iklan. Yah, kalo dah berhubungan ma duit susah lah.

Oke lanjut. Yang kedua, ceritanya selalu meniru, adaptasi, saduran, ngopi dikit2. Entah itu dari film luar negeri, buku, novel, komik, dst..dst. Gw juga sempat nanyain juga ke Manoj. Jawabannya? “Ah, nggak seluruhnya sama kok. Ini kita buat versi Indonesianya, jadi ada banyak kebudayaan Indonesia disana. Ceritanya juga lain banget,”. Huh, dasar tukang ngeles!

Yang ketiga, sinetron Indonesia itu suka skali dengan euphoria. Kalau ada satu sinetron tiba-tiba sukses dengan gebrakannya, yang lain pun mengekor tanpa rasa malu, dan dengan hasil yang sama percis, cis, cis. Contohnya Rahasia Ilahi, sekarang ada Adzab Ilahi, Kuasa Ilahi, dan beberapa judul lainnya.

Yang terakhir, gejala lama. Begitu suatu sinetron sukses, maka dibuatkan lah kepanjangannya. Dengan bintang yang berbeda, dan cerita yang makin mengada-ada. Misalnya tersandung 1, tersandung 2, tersandung 3, dst…dst..

Gw sendiri juga heran, kenapa orang kita ini begitu suka dibuai mimpi, dibawa ke khayalan2 semu. Apa karena kondisi negara kita yang miskin ya?

Oke, pernah suatu hari gw makan di sebuah warung, di Jakarta. Pemilik warungnya itu orang jawa. Kayaknya sih Jawa Tengah. Ibu-ibu, usia sekitar 40-an tahun, rambut disasak.

Di warungnya ada tipi, dan sedang nayangin sinetron komedi gitu. Karena waktu itu duduk gw menghadap ke tipi, mau nggak mau gw pun ikut ngelihat, sambil asyik makan. Kalau gak salah, bintangnya Meriam Belina, Ira istrinya Katon Bagaskara, dsb dsb.

Sambil makan, dalam hati gw ngedumel. “Damn, what a piece of crap!”. Dialognya gak jelas, ceritanya uaneh, dst2. Disela-sela gw ngedumel itu, eh tiba2 gw mendengarkan orang tertawa. What the…, siapa sih yg ketawa ngelihat banyolan supergaring dan gak mikir itu?

Ketika gw menoleh…yep, bener banget, si ibu2 asik ketawa sembari tangannya terus mengupas bawang. Kayaknya dia asik banget gitu. Sesekali ia memanggil anak ceweknya yang lagi melayani pembeli, untuk ikut ngelihat.

Well, what can I say, ternyata memang ada juga orang yang nonton acara gitu. Gw sendiri gak tau, apa dia ketawa karena udah ngikutin tuh sinetron dari awal, atau hanya melihat gesture (bahasa tubuh) dari bintang2nya.

Monday, April 25, 2005

I crave for technology

Lagu Blind Melon - No Rain, sebatang rokok, secangkir kopi cappuccino buatan sendiri. Ah…sedap benar. Sometimes I forget how life could be so beautiful.

Kemaren gw baru baca artikel menarik yg ditulis oleh Alexander Abimanyu. Dia menulis tentang sebuah gaya hidup baru setelah metrosexual. Namanya technosexual (TEK.noh.sek.shoo.ul). Istilahnya ditemukan oleh Ricky Montalvo.

Definisinya : dandyish narcissist in love with not only
himself, but also his urban lifestyle & gadgets; a straight man who is
in touch with his feminine side but has fondness for electronics such
as cell phones, pda's, computers, software, and the web.

Gaya hidupnya kira-kira seperti ini (gw bandingin sama gaya idup gw, huhu)
07.00 Bangun tidur, nonton cable TV (CNBC dong, biar bisa lihat
perkembangan dunia terakhir plus harga saham) sambil Pilates.
Gw : 09.00 Bangun tidur langsung nonton infotainment, kali2 aja ada berita gw yang kecolongan. Btw, Pilates apaan sih? Ada yg tau gak?

07.30 Mandi, gosok gigi pake sikat gigi elektrik (lebih bersih) terus
cukur jenggot pake electric shaver (lebih halus tentunya).
Gw : 11.00 Mandi, gosok gigi pake sikat gigi formula (lebih murah) terus cukur kumis (soalnya gak punya jenggot) pake piso cukur biasa (lagi-lagi lebih murah).

08.00 Siap-siap berangkat kantor. Checklist: kunci mobil, tas kerja,
kacamata, handphone (separuh nafas), PDA, laptop (nafas yang separuh
lagi), digital camera (yang satu ini nggak boleh lepas, in case ada
objek-objek menarik, still life or alive), bluetooth earphone (yang
ini penting buat sambil nyetir).
Gw : 11.30 Siap-siap brangkat ngantor. Checklist : kunci motor, backpack (buat naruh souvenir acara launching, hehe), beltpack (kartu pers, notebook, bolpen, kartunama, rilis, rokok, korek, dst), kacamata (gw minus), handphone, earphone (buat dengerin MP3 waktu nyetir motor, hehe, feels damn good).

10.00 Sampai di kantor. First thing, nyalain komputer dan cek email
sekalian transfer online buat bayar membership F1 club dan upload
foto-foto dari gathering kemarin malem.
Gw : 11.45 nyampe kantor. First thing, nyalain computer. Cek imel, friendster, milis2 di yahoo ngeliat ada acara apa hari ini, buka detikcom, kafegaul, disctarra, dsb2 nyari brita2 terbaru, uplot blog, uplot foto di fotografer.net.

12.00 Makan siang sambil presentasi, dari pada repot bawa-bawa buku
portfolio, cukup bawa laptop dan FlashDisk (barang ini sekarang sudah
ada yg lebih kecil dari jempol dan muat banyak).
Gw : 12.30 makan siang di kantin. Klo lagi kere, ya diwarteg. Dilanjut ngetik, klo gak cabut liputan. Nggak pake flashdisk, buat apa wong hp gw multifungsi =Mp3 player sekaligus flashdisk.

18.00 Pulang kantor, ke gym dulu, paling nggak lari di treadmill
sambil dengerin iPod (ingat, stop piracy, download only original
copies).
Gw : 20.30 Siap2 pulang..

20.00 Setelah makan malam, ngopi dulu bentar sebelum pulang. Sambil
ngopi lumayan juga kalo bisa nulis sambil download lagu, toh di kedai kopi itu ada koneksi Wi-Fi.
Gw : 20.45 Ngopi n makan mie kuah di warung depan kantor. Dengerin MP3 dari handphone (semuanya lagu bajakan, dapet dari CD bajakan pula. Selain gak punya duit, juga emang disini CD-nya emang gak dijual).

22.00 Sampai dirumah, bakar wangi-wangian aromatherapy sambil
dengerin ambience CD (di stereo set yang volume suaranya bisa diatur
sedemikian sehingga berbeda-beda di tiap ruangan) sebelum tidur.
Gw : 23.00 Sampai kosan. Beli nasgor/sate ayam di depan kos. Semprot kamar pake baygon biar gak digigit nyamuk. Nonton tipi, liat DVD, main PS, nulis blog, muter MP3 di laptop sampe pagi.

There you go!!!

Ternyata, bener juga lho. Gaya idup gw udah mirip2 sama technosexual. Bedanya, gw lebih kere (baca : melarat) aja. Tapi emang bener juga lho, klo salah satu gadget dihilangkan, akan sedikit sekali yang bisa dikerjakan.

Pernah DVD gw dipinjem ma temen selama 2 minggu. Wuah, rasanya bingung gitu. Soalnya, udah kebiasaan dalam seminggu itu paling tidak selama 3 hari gw harus nonton film. Kalo bokep mah tiap hari.

Si Alexander menulis, kebanyakan dari kita telah terjangkit elemen adiktif baru bernama digital. Bahkan, saking adiktifnya, ada orang yang terus penasaran dan memburu barang2 yang lebih baru. Huhu, kalo ini sih gw ada contoh nyatanya (Ko Herry!) wakaka. Sory ya ko!

Tapi emang bener, hampir semua media massa, cetak ato elektronik selalu mengupas masalah the latest technology available to public. Dan sepertinya gw bener2 sudah adiktif banget dengan barang2 digital itu.

Di Surabaya, ada barang2 yg hukumnya fardhu ain untuk berada di kamar gw.
1.TV flat 29”
2. PS2
3. Tape untuk amply, MP3, dst
4. Laptop and PC
5. DVD.

Waktu gw ke Jakarta, gw Cuma bawa laptop, kamera digital, sama PS2.
Ternyata, hasrat untuk melengkapi kekurangan2 itu begitu menggebu2. Njiss, kayak orang sakaw. Gawat juga yah. Untungnya, dua barang sisanya gw dapat tanpa mengeluarkan duit sepeserpun. Hasil doorprize. Huehue.

Tapi, kalo ngelihat kondisi sekarang, sepertinya gw udah terlambat untuk mundur. I crave for technology. I can't live without my gadgets, I can't go
anywhere without my cell phone, gw ngerasa hampa ketika naik motor gak dengerin mp3/radio dan, gw gak bisa hidup tanpa internet!

Bukannya sok modern ato apa. Tapi itu gw rasain banget kemarin ketika lampu di kosan gw mati, cukup lama. Gw buka2 hape, ternyata lowbat. Gw nyalain laptop, baterenya juga gak kalah sekarat. Jadinya apa, bingung abis. Akhirnya, gw pun langsung berusaha tidur. Padahal itu baru jam 11 malem.
Bisa tidur? Ya gak lah! gw malah plonga-plogo kayak orang bego. Parah kan?

Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Alexander Abimayu dalam tulisannya :
Nah, untuk anda yang belum terjangkit oleh virus digital ini, pertimbangkanlah lebih lanjut.
Apakah teknologi hanya menjadi komplemen dalam hidup anda atau sudah memasuki kategori primer?
Are you a 'pen and paper' person or are you willing to surrender yourself
to the machine?
Blue pill or red pill?
Apakah anda ingin memenuhi kantong dan pinggang anda dengan semua gadgets termutakhir atau anda hanya akan pasrah atau malah bangga apabila ada orang bilang 'hare genee, gak punya henpon?'

Damn.

Oya, tadi gw dengan sukses mengosongkan seluruh ATM gw untuk beli flash. Ya, flash untuk ngelengkapin kamera gw. Damn, that thing is so f***in expensive. Tapi gak papa, itung2 aja buat nanem modal. Soalnya, ntar klo dah bosen di Jakarta en balik ke Surabaya gw ada rencana untuk memperdalam fotografi, n klo bisa dapet duit dari sono. Huhu. Doain aja lah. Amin.

Btw, ada satu barang lagi yg pengin banget gw beli. Ini masih terkait sama adiksi ke teknologi tadi, yaitu henpon CDMA. Bukan buat gaya2an, tapi buat internetan. Soalnya denger2 Starone bikin penawaran, 1 juta dapet hp plus internet gratis. Ini masih gw cari2 infonya.

Sunday, April 24, 2005

My Nick Name’s

Everybody has a nickname right?

FYI, nickname is nama keren. Ok, sebut saja Joko. Kalau dipanggil, ”Jok!” atau “Ko!” kan gak keren tuh. Gimana kalau si Joko dikasih nickname…”Joe!”. Huhu. Kan keren.
“darimana Joe?”
“Joe, makan yuk!”
kesannya lebih…gaul. Huhu.

Ehm. Ngomongin nickname, waktu kecil gw udah punya nickname lho. Mau tau? Sebenernya gw agak malu juga sih bilangnya. But, what the hell….jangan ketawa ya..!!! promise!
Nickname gw…Nenen. Huhuhu.

Waktu kecil aja panggilannya sudah mesum gitu. Pantesan aja gedenya superbejat. Percaya ato gak, sampai sekarang pun masih ada sodara gw, om ato tante yang manggil gw gitu. Huhu.

Sebenarnya, Nenen itu bukannya tanpa alasan. Gw mendengar cerita ini dari nyokap gw. Konon, waktu kecil dulu gw gak pernah bisa mengucapkan nama gw dengan sukses.

*flashback mode on*.

Nyokap : ayo cah bagus, bilang Daaaannaaannggg…
Dan kecil : …..neneen…(sambil ngeces)
Nyokap : Bukan..bukan..neneen, tapi..Daaanaanng…ayo coba lagi..!
Dan kecil : ….(bingung, tetep ngeces)
Nyokap : buka mulutnya, bilang…Daanangg….!!
Dan kecil : nenen….
Nyokap : Danang..!!!
Dan kecil : nenen….
Nyokap : Danang..!!!!!
Dan kecil : nenen….
Nyokap : fiuuh..(menarik napas panjang)..well, alright then, from now, we will call you..nenen!

Huhu.
Sampai SMP, masih banyak sodara2 gw yg manggil Nenen. Padahal, dulu gw ngerasa paling benci dipanggil gitu.
Setelah itu, gw juga mengalami beberapa perubahan nama panggilan.

-Sama anak-anak kampung deket rumah, gw dipanggil “dek Bagoes” (maklum, medok khas Surabaya). Kebetulan, dikampung gw juga paling kecil.
-Sama temen2 SMP, gw dipanggil “Danang” atau “Nang!”, seperti biasa.
-Temen2 SMA, juga manggil gw “Danang” atau kalau gak ya nama bokap gw. Biasa lah anak SMA, ejek2kan pake nama bokap sudah jadi hal wajar. Hehe.
-Nyokap plus kakak gw manggil gw “adek”. Huhu.
-Pengin tahu bokap gw manggil gw apa? Ehm, “Ableh!”. Parah kan?.
Please deh, gw juga bingung soalnya gw merasa nggak ada mirip2nya dengan rekan seperjuangan Pak Ogah itu.

Suatu ketika, saat gw masih SMA, temen2 gw bertandang ke rumah. Dan dengan cueknya, bokap gw memanggil-manggil anaknya tersayang ini dengan nickname-nya : “Bleh! Bleh! Temen2mu mbok diajak makan sana!”
“bleh, angkatin jemuran di loteng ya!”
mampus.
Mulai saat itu, temen2 gw SMA pun sepakat memanggil gw dengan nama “Ableh!”. Hiks sedih banget gak sih.

Itu belum seberapa.

Suatu saat, gw bersama temen2 SMA gw main-main di rumah sepupu gw di Malang. Akhirnya, nickname “Ableh” ini menular ke adik2 gw. Shit!

Dulu, mereka selalu memanggil gw dengan kata depan, “Mas”. Tapi, setelah kejadian itu, mereka ikutan memanggil gw “Bleh!”. Dan, kayaknya mereka begitu bahagia dan lepas saat mengucapkannya. huhu.
Gilanya lagi lama kelamaan, nickname “Ableh” itu juga menular ke hampir semua sodara dekat gw. Nggak om, nggak tante, nggak sepupu, nggak ponakan.
“Si Ableh kemana?”
“Lho, kan tadi Ableh yang nyetir mobilnya?”
hiks.

Terus, gw pengin dipanggil apa dong?
Well, jawabannya cukup simple. Just call me, “Dan”. Hehe. Selain sama dengan kode tulisan gw, juga lebih enak disebut.
Sebenernya, orang pertama yang manggil gw “Dan” itu myangel. Siapa sih myangel? Well, cari sendiri di post2 pertama. Sejak dia manggil “Dan” gw jadi lebih comfy dipanggil seperti itu. Hehehe.

Tapi seperti yang dikatakan Ustad Sanusi, “apalah arti sebuah nama?”

Ngomongin Bokap-nyokap, gw jadi kangen nih sama mereka. Hehe. Satu hal yang paling gw syukurin selama hidup, ya punya bo-nyok seperti mereka. Gw bersyukur banget punya keluarga yang sempurna. Punya orang tua yang sayang banget sama anak2nya. Makanya, kadang2 suka gak tega gitu ninggalin mereka berdua ke Jkt. Hehe, padahal klo di Surabaya gw-nya juga jarang dirumah.

Apalagi setelah gw gawe. Jadinya mereka malah jarang banget ngatur, atau marahin gw gitu. Adanya, dirumah gw dimanja banget. Mau apa2, bebas, asal gak macem2. Mungkin mereka ngerasa gw udah cukup dewasa kali ya.

Mereka juga sangat demokratis gitu. Kalo gw ngelakuin kesalahan, nggak langsung dimarahin abis2an, di judge, dihukum, dsb2. Tapi, gw cuma diajak ngomong baik2. Itu yg ngebuat gw kagum banget sama mereka. Itu yg gw rasain waktu gw ke gap ngebawa cimeng kerumah, wekekeke. Tapi setelah kejadian itu, gw bertekad untuk nggak nyimeng lagi. Berhasilkah? Yah lumayan, cuma beberapa bulan saja, kebetulan barangnya memang gak ada. Wakakakaka.

Bokap gw itu, orangnya keras n tegas banget. Kalo iya-iya, nggak-nggak. Bokap juga mualaf, begitu ktemu dan kawin ma nyokap, katanya ia dapet pencerahan buat masuk Islam. Hehe.

Dan, gw mengibaratkan bokap itu kayak Mcgyver. Serius, he can fix anything. Mulai dari strika rusak, mesin cuci ngadat, sampe bongkar motor/mobil. Orangnya trampil banget. Itu, salah satu kelebihan dia yang -dengan menyesalnya- nggak menurun ke gw. Huhu. Kalau bikin hancur barang sih gw jago banget, tapi urusan bener-ngebenerin gw paling payah. Huh, payah. Pokoknya orang yg paling gw kagumi itu, ya bokap.


==