Saturday, October 01, 2005

Sajama Cut


Bikin Lirik Tentang Bintang Porno

Penampilan good looking, musik ultra-urbane folk-rock stylish, serta lirik bercerita tentang keputusasaan, kematian, dan seksualitas. Sambut formasi dan album baru Sajama Cut!

Nama Sajama Cut lebih dulu populer dengan single Less Afraid, yang menjadi high rotation di radio-radio Jakarta. Single itu sempat juga mengisi soundtrack film Janji Joni, besutan Joko Anwar, serta kompilasi independen JKT:SKRG.

Sekarang, Sajama fans dapat menikmati full-lenght album bertajuk The Osaka Journals yang baru dirilis 11 September lalu dibawah label Universal. ”Semua lagu di album itu sudah dikerjakan oleh formasi baru,” ujar J. Marcel Thee, vokalis, gitaris, sekaligus mastermind band ini.

Sejak akhir 2004 lalu, band asal Jakarta ini memang berganti formasi. Personel awal, Beta, Reny, dan Iman, karena alasan tertentu memilih untuk mengundurkan diri.

Marcel, satu-satunya personel yang tersisa akhirnya merekrut Mario Pramata Leman sebagai pembetot bass, Aldy Waani pengulik gitar, Andry Ruay sebagai penggebuk drum, dan Budi Marchukunda mengisi posisi kibordis.

Dengan formasi ini, mereka lantas mulai menggubah aransemen lagu, menyesuaikan ide, dan langsung masuk studio rekaman. Hasilnya adalah sebelas lagu bernuansa folk-rock, dengan influence band-band seperti R.E.M, Gram Parsons, Hank Williams, Bright eyes, The Fall, Flamming Lips, dan Guided by Voices.

”Sama sekali nggak ada kesulitan. Gue bisa langsung click dengan mereka. Chemistry-nya langsung dapet. Udah solid lah,” beber Marcel. Terkait dengan proses rekaman Osaka Journals yang memakan waktu hampir setahun itu, Marcel berkelit, ”kami adalah orang yang sangat perfeksionis!,”.





Kental Nuansa Jepang

The Osaka Journals dirilis oleh label mayor Universal Musik Indonesia. Kendati demikian, Marcel mewanti-wanti, kalau tidak ada campur tangan label soal musik atau lirik Sajama Cut. ”Semua kita sendiri yang menentukan kok. Kami sign-in ke label, supaya distribusinya lebih luas. Band mana sih yang nggak ingin musiknya didengerin orang banyak?,” bantah Marcel.

Judul album itu, diambil dari buku jurnal Marcel. ”Gue punya buku jurnal, yang berisi pengalaman perjalanan gue ke berbagai tempat, termasuk Jepang. Kenapa Osaka, sebenernya nggak ada alasan khusus. Supaya terdengar catchy saja,” paparnya.

Bila dicermati, baik artwork kover yang bergambar seorang wanita berkimono, judul lagu, maupun lirik, sebagian besar bercerita tentang Jepang. Alasannya sangat simple, karena para personel Sajama Cut memang tergila-gila dengan negara Jepang.

”Kami suka kebudayaan, mentalitas, etnis, serta kreativitas negara Jepang,” urai Marcel. ”Karena itu, rasanya lebih mudah untuk mengintepretasikan segala sesuatu tentang Jepang. Lebih mengalir dan lebih lepas,” tambahnya. Simak saja judul-judul seperti It Was Kyoto, Where I Died ; Take Care’ Inamorata ; Season Finale ; Idol Semen ; hingga Fallen Japanese, yang dijadikan single pertama.

Soal lirik, band yang namanya diambil dari sebuah novel thriller ini mereka mengaku menggarapnya secara serius. ”Lirik Sajama Cut itu straight to the point. Kami sebisa mungkin menghindari gimmick, lirik yang bercanda atau cinta yang terlalu kental,” urai Marcel.

Sebagian besar temanya, lanjut Marcel, justru menyoroti hal-hal yang nyaris tak disentuh oleh band mainstream kebanyakan. Yaitu perasaan ingin mati, paranoia, depresif, keputusasaan, hingga seksualitas. Semua itu diracik dalam kata-kata metafor yang puitis dan melodramatic.”Waktu menulisnya, gue benar-benar merasakan hal itu lho,” aku Marcel jujur.

Tidak takut nantinya akan berdampak negatif pada pendengar Sajama Cut? ”Ah, gue rasa remaja sekarang lebih pintar. Mereka sudah bisa berpikir. Nggak mungkin lah mereka dengerin musik Sajama Cut terus ingin bunuh diri,” jawab Marcel enteng.

Yang absurd lagi, adalah lagu bertajuk Idol Semen. Tembang tersebut bercerita tentang bintang film porno asal Jepang. Seperti Rin Tomosaki, Nana Sakura, Akira Watase, hingga Miruku Ichigo. ”Ya, kami memang suka nonton film porno. He-he-he,” urai Marcel, yang menyukai aktor porno Naka Kato ini jujur.

Sayangnya, dari total sebelas lagu hanya satu yang menggunakan lirik Indonesia. ”Terus terang, gue lebih ekspresif saat menulis dan menyanyikan lagu dalam bahasa Inggris. Tapi, kita juga berusaha kok. Di album kedua nanti, mungkin lebih banyak content Indonesianya,” bela Marcel.



Prepy, dandy, dan stylish

Melihat penampilan para personel Sajama Cut, siapapun pasti setuju bahwa mereka punya tampang goodlooking. Apalagi, penampilannya yang semi modern, prepy, dandy, dan stylish. Selalu terlihat rapi, lengkap dengan jas, dasi, vest, vintage shirts, hingga chic jacket.

”Soal penampilan, selalu kami jaga betul. Kami nggak ingin tampil seadanya. Visual band itu penting. Karena dapat menterjemahkan lagu. Serta intrepretasi dari musik yang dimainkan. Jadi penonton tahu arah bandnya dibawa kemana,” jelas Mario, pembetot bass. ”Ini kami jadikan sisi strongpoint, karena itu terus kami enhanced, kami pancarkan,” tambah Marcel, yang mengaku mengaku terinspirasi dengan college looks, dandanan mahasiswa di Eropa.

Begitu pentingnya masalah wardrobe ini, hingga ketika akan tampil pun musti dirapatkan dulu. ”Harus ada koordinasi. Kayak gini keren, atau nggak. Kalau ada yang terlalu berlebihan, kita kasih masukan. Kita selalu berdiskusi tentang wardrobe apa yang keren,” papar Marcel.

Bahkan, tak jarang mereka memberi bocoran tentang tempat-tempat yang menjual wardrobe yang bagus. ”Kita beli di internet, butik, sampai nitip temen atau saudara yang lagi ke luar negeri. Biasanya kita lebih suka barang-barang vintage,” urainya.

-------------------------------------------------------------

Menikmati Drama Yang Menyakitkan

Artis : Sajama Cut
Judul : The Osaka Journals
Label : Universal Musik Indonesia

The Osaka Journals akhirnya membunuh rasa penasaran para Sajama fans, yang ingin segera menikmati album full-length mereka. Dan, rasanya tiap detiknya terbayar dengan sebuah album yang matang tidak hanya secara musik, tapi juga materi dan lirikal.

Sajama Cut membawakan musik folk-rock, yang merupakan gabungan antara musik indie rock kental, dilebur sedikit country, plus nuansa pop era 80’an. Semua itu Dilebur dengan lirikal puitis yang depresif dan menyakitkan.

Lagu opening Season Finale, berdurasi hanya sekitar 2.5 menit. Lagu ini memiliki melodi pop abstrak, dengan refferain yang cukup depresif, seperti “some days I feel like we’re all dying,”. Lagu kedua, Fallen Japanese bernuansa ala choir dan cukup catchy. Mungkin, reff-nya yang sangat sing-a-long, menjadi alasan mengapa lagu ini dipilih menjadi single pertama.

Alibi, terasa begitu melankolis dan menyentuh. Seperti menonton film drama, dengan ending yang sangat menyakitkan. Untuk merasakannya, kita tak harus memahami liriknya. Petikan gitar, serta cara bernyanyi Marcel sudah merepresntasikan semuanya.

Scarlett (Paramour), Fin, dan Nemesis/Murder memiliki nuansa country, dibawakan dengan medium beat. Namun, titik klimaks dalam album ini justru terasa ketika mendengarkan It Was Kyoto, Where I Died. Lirik yang sangat memorable, dan musik yang catchy serasa merepresentasikan keseluruhan album Osaka Journals ini.

Sayangnya, Lagu Tema yang dinyanyikan Marcel menggunakan bahasa Indonesia, justru terasa aneh. Sentuhan dark, dan dramatis yang ingin dicapai, malah tidak tersentuh