Monday, September 05, 2005

Geliat Scene Underground Islandia



Dulu Tak Peduli, Sekarang Digemari

Dulu, nyaris tak ada yang mengenal Reykjavik. Tapi kini, kota berjuluk ”smoke town” itu menjadi pembicaraan hangat lantaran perkembangan scene musiknya yang luar biasa pesat. Terutama scene musik elektronik eksperimentalnya. Berbagai artisnya kini mulai mendapat international recognition. Apa rahasianya?

Reyjavik, adalah ibu kota Islandia. Sebuah kota kecil, berpopulasi “hanya” sekitar 170 ribu orang. Secara literal, jumlah itu hanya sekitar seper duapuluh penduduk Jakarta. Tapi, sudah mencapai setengah dari total populasi penduduk Islandia. Uniknya, dengan populasi yang serba minimal itu, Reyjavik telah melahirkan musikus serta penyanyi kelas dunia.

Nggak percaya? Tinggal sebut. Mulai Björk, Magnús Ver Magnússon, dan kini Sigur Rós.
Reyjavik dijuluki ”smoke town”, karena banyaknya lubang-lubang geothermal dalam kota tersebut yang menyuplai panas dan air ke kota. Karena populasinya yang tak terlalu padat, Reyjavik nyaris tak pernah macet. Bahkan, di beberapa ruas jalan, kita bisa melihat bebek, dan angsa berlari-lari bebas.

Tapi, jangan tertipu. Reyjavik adalah kota paling hip dan maju di dunia. Konsumsi handphone dan internet di Islandia tertinggi, nyaris tak tertandingi kota manapun di dunia.

Fashion? Reykjavik punya label clothing macam GK, Aftur, X18, dan Svo. Bagaimana dengan film? Ada Baltasar Kormákur’s Reykjavik 101, Fridrik Thor Fridriksson's Rock in Reykjavik dan Zik Zak Film Works Dramarama. Musik? Well, now your talking. Jazz? Hip hop? Techno? Just name it. Kota ini memiliki banyak sekali pub dan club yang memutar musik selama 24 jam nonstop.


Diawali Dengan Revival Punk

Penyanyi pop pertama yang benar-benar menggebrak Islandia adalah Hljómar. Ia memiliki groupies yang nggak kalah fanatiknya dengan para Beatlemania (penggemar band the Beatles). Setelah itu, lagu-lagu bertipe dico-glam mulai menduduki tangga lagu Top 40.

Scene musik underground Islandia mulai bangkit, seiring dengan revival punk di Inggris sekitar 1979-an. Komunitas underground berkembang secara sporadis, mengandalkan idiom do-it-yourself attitude, dan memunculkan band-band baru.

Beberapa diantaranya adalah Tappi Tíkarass, Fræbbblarnir, Bubbi Morthens dan KUKL. Sejurus kemudian, scene underground tumbuh dengan pesatnya. Salah satu sebabnya, karena Islandia begitu kecil. ”Kalau kamu ingin menonton sebuah band, kamu tinggal berjalan ke pertunjukkan mereka!,” ujar Helgi, vokalis band rock Suð.

Sekitar 1990-an, Nirvana dan grunge-manianya menjadi sangat populer. Tapi, beberapa tahun setelahnya, justru scene death metal yang diatas angin. ”Saking besarnya, sampai-sampai banyak band yang merubah alirannya. Hanya ada beberapa indie band dan computer freak yang tersisa. Semuanya berambut gondrong, headbangs!,” urai Helgi sembari tertawa.

Tapi, makin kedepan, genre musik Islandia makin variatif. Scene hardcore mulai muncul, dan sempat menjadi genre underground yang paling laris. Sementara sekarang, band-band muda cenderung memainkan musik yang sangat variatif dan lebih suka bereksperimental.

”Awalnya hanya beberapa orang saja yang mau membeli, bahkan mendengar musik yang dibuat oleh musikus lokal. Bahkan, rilisan lokal dilabeli ’kelas dua’ atau bahkan ’kelas tiga’, tanpa diberi kesempatan terlebih dahulu”.


Menulis Lagu Lebih Penting!
Bagi para musikus di Reykjavik, live performance, atau membuat crowd moshing dan berstage-diving bukanlah segalanya. Mereka justru lebih fokus untuk membuat lagu sebaik mungkin, meminimalisir tampil. ”Hingga mencapai suatu fase ketika kamu bilang, ’hey, kami baru saja menulis lagu terbaik kami!’,” papar Helgi.

Karena itu, penonton show indie bisa dikatakan cukup terbatas. ”Paling banter cuma 200-an orang saja. Fans musik keras seperti hardcore justru lebih parah. Hanya sekitar 50-an orang setiap show,” urai Helgi lagi.

Salah satu klub/venue underground yang cukup terkenal adalah Gaukur á Stöng. Klab tersebut menggelar shownya hampir setiap malam. Biasanya, para band yang membawakan lagu-lagunya sendiri bermain saat weekdays. Sementara saat weekend, yang tampil justru band-band yang membawakan cover song (lagu orang lain).

”Penggemar musik yang datang ke Gaukur á Stöng tidak pernah tahu musik apa yang akan mereka dengarkan. Karena begitu banyaknya band berbeda, yang membawakan musik berbeda pula,” papar Helgi. Klab tersebut cukup terkenal, karena memberi kesempatan pada band-band pendatang baru.

Rilis Album di Luar Negeri
Merilis album rekaman di Reykjavik ternyata sangat sulit. Apalagi bagi band non-mainstream. Yang pertama, karena market Islandia yang memang sangat kecil.
Selain itu, penduduk Islandia cenderung memandang sebelah mata terhadap musikus lokal. Bahkan, awalnya hanya beberapa orang saja yang mau membeli atau mendengar musik yang dibuat oleh lokal.

”Rilisan musikus lokal dilabeli rilisan ’kelas dua’ atau bahkan ’kelas tiga’, tanpa diberi kesempatan terlebih dahulu,” urai Kristleifur Daðason, seorang DJ yang lebih dikenal dengan nama Shape 7. ”Hal itu mulai berubah, ketika Björk sukses menarik perhatian dunia. Musikus Islandia akhirnya mulai dilirik,” paparnya.

Karena itu, banyak musikus yang memilih untuk mendirikan label sendiri, atau rekaman dengan prinsip Do-It-Yourself (DIY). Beberapa band yang mengusung musik tekno seperti Exos dan Ohm memilih untuk merilis albumnya dibawah label Jerman. Satu-satunya label yang concern terhadap band indie dan non mainstream adalah Thule Musik. Itu pun, mereka banyak mengedarkan rilisannya ke luar negeri.

Eldar Atthorsson, seorang DJ Drum & Bass, mengatakan untuk bisa sukses di Islandia, kebanyakan artis harus pergi ke Inggris atau Eropa dulu. ”Memang ada juga beberapa artis yang telah merilis albumnya di Islandia selama beberapa tahun, dan membangun fan base kecil-kecilan. Tapi sungguh, kalau misalnya mereka ke luar negeri dan mendapat tanggapan bagus atau record deal, mereka akan kembali menjadi bintang di kampung halamannnya,” urai Eldar.

Ungkapan Eldar memang bukan isapan jempol. Hal itu terjadi pada band-band macam Sugarcubes dan Sigur Ros. Begitu menjadi headline majalah Melody Maker, Sugarcubes seakan menjadi besar di Islandia dalam semalam.

As for Sigur Ros, tak ada yang mendengarkan dua rilisan pertama mereka. Sebaliknya, begitu Agaetis Byrjun dirilis oleh Fat Cat Records (label Eropa), sekarang semua mendengarkan Sigur Ros!

”Kalau materinya memang bagus, saya pikir mudah saja untuk mendapat label diluar Islandia. Tinggal kasih kover yang bagus, dan chat via internet. Sesuatu pasti akan terjadi,” Kristleifur menambahkan. Uniknya, saking banyaknya musikus yang berusaha memasarkan musiknya diluar engeri, Thule Records sampai mendapat protes dari para penggemar musik lokal.

”Di Islandia, sangat sulit untuk menjadi seorang musikus yang bisa hidup enak. Kebanyakan penyanyi disini memiliki pekerjaan 9 to 5 untuk tetap hidup,”



Rekaman Pun Numpang


Soal rekaman, hampir sama dengan musikus indie kebanyakan. Band-band debutan, mengawali karirnya dengan susah payah dan penuh perjuangan. Tak jarang, mereka harus ”numpang” di studio milik rekannya. Seperti yang dialami oleh para personel Suð. ”Baru untuk urusan mixing dan mastering, kita menyewa studio yang cukup besar,” papar Helgi, vokalis Suð.

”Waktu itu kami hanya ingin keluar dan tampil. Karena itu kami berusaha menulis lagu sebanyak mungkin. Setiap jengkal ide dalam kepala kami keluarkan,” papar Helgi. ”Setiap ide, tidak muncul dengan struktur penuh. Begitu ada ide, kami coba ramu dengan jamming,” lanjutnya.

Mengandalkan koneksi rekannya, Suð berhasil mengedarkan albumnya ke Jerman dalam bentuk CD. Itu pun hanya 500 kopi saja. ”Seluruh proses itu memakan biaya cukup mahal, sekitar 40 juta rupiah. Saat itu, kami menutup kekurangannya dari kantong kami sendiri,” kenang Helgi.




Elektronik Eksperimental Meledak

Toh, despite semua semua keterbatasan itu, pertumbuhan musik di Islandia justru meledak, diluar dugaan. Terutama untuk genre musik elektronik eksperimental. Dimulai sekitar 1992-an. Ketika itu hanya ada empat band yang terjun dalam genre tersebut. Mereka adalah Bix, Ajax, Inferno5 dan T-World.

Persaingan tentu ada, tapi tidak secara konfrontal. Melainkan dengan cara yang positif. Rata-rata, musikus Reykjavik memiliki paham untuk berusaha pushing the limit. Mencoba sesuatu yang baru, yang belum pernah dicoba oleh siapapun juga.

”Persaingan itu membuat kami berpacu untuk berkarya dan bereksperimen,” papar Bix, musikus elektronik yang telah “mentas”. ”Kami ingin agar semua orang langsung berteriak ’ooooh’ saat mendengarkan musik yang kami. Itu adalah saat-saat yang paling produktif bagi band-band di Reykjavik,” lanjut Bix, yang kini tinggal di Los Angeles, California.

Bix yang kini tengah mengerjakan solo albumnya sendiri, pernah menggarap lagu remix untuk artis sekelas Beck dan Madonna.

Di Islandia, lanjut Bix, sangat susah untuk menjadi seoarang musikus sekaligus mengenyam kehidupan yang cukup. ”Kebanyakan musikus di Islandia harus bekerja 9 to 5 untuk bisa hidup. Karena venue di Reykjavik sangat terbatas,” papar Bix.
Namun, saat ini, scene musik elektronik sudah jauh lebih kuat. Banyak musikus berbakat yang muncul membawakan ide dan konsep musik segar, cuting-edge, dan jenius.

Clubbing 24 Jam

Untuk urusan clubbing, Islandia memang sedikit unik. Banyak DJ dari Inggris datang ke Islandia, dan saat kembali mereka selalu berdecak kagum. ”Bahkan menjadi lebih baik, setiap kali mereka kembali. Seperti sebuah wabah yang menular. Semua orang yang datang kesini, ingin kembali!” papar DJ Eldar Atthorsson.

Tapi yang membuat beda para Icelanders dengan tempat lain, saat mereka clubbing atau jamming, mereka benar-benar esktrim. Misalnya, clubbing dimulai dari Jumat atau Sabtu, berlanjut hingga keesokan paginya. Kemudian, mereka mulai keluar lebih awal, sampai mulai pada Rabu dan berlangsung lebih dan lebih lagi.

Di Reykjavik, techno, house, dan trance adalah musik yang paling populer saat ini. Kenapa techno? Sebab, orang-orang Reykjavik lebih menyukai musik yang lebih hard, dan danceable. ”Banyak DJ-DJ techo berbakat dan berkualitas di Reykjavik,” tandas Eldar. Beberapa klab yang sering memutar musik seperti itu, yaitu Café Thomsen dan Gaukur á Stöng.

No comments: