Saturday, May 21, 2005

Mentaly Ill

“Ada apa to le? Kok belakangan ini kamu berbeda?” tanya ibuku dengan nada khawatir. Meski usiaku hampir seperempat abad, terkadang ibu masih memperlakukanku layaknya anak kecil. Termasuk dengan memanggilku Tole, sapaan khas orang Jawa. Tapi aku sepenuhnya sadar. Itu menunjukkan betapa sayangnya beliau kepadaku.

“nggak papa kok ma,” jawabku enteng, berharap jawaban pendek tadi dapat mengusir raut muka cemas itu.

“Ya, nggak usah dipikir lah. Nanti mama pasti berdoa supaya kamu mendapat kerjaan lebih baik lagi,” tuturnya. Aku berusaha semampunya untuk tersenyum, menutupi galaunya perasaanku saat ini. ”Iya, thanks ma,”

Mataku kembali nanar. Terpaku kepada computer jinjing yang baru beberapa hari ini menghiasi ruang kamarku. Kuhabiskan separuh tabunganku untuk membeli benda yang ukurannya tak lebih besar dari Majalah Rolling Stone itu. Kupikir, betapa praktisnya bila computer bisa ditenteng. Kita bisa mengetik dimana saja.

Ah, sudah. Jangan bicara soal mengetik. Aku sudah muak. Seharusnya computer ini bisa sangat membantuku dalam bekerja. Tapi ironisnya sekarang aku justru tak memiliki pekerjaan. Aku ingin menulis, tapi bingung yang harus ditulis. Pun, untuk apa? Tak ada yang akan membayar tulisanku?

Padahal saat ini aku butuh uang. Sekedar pegangan saja. Untuk jajan, atau membeli rokok. Sudah lima bulan ini yang kulakukan hanya menguras ATM-ku. Hingga tak ada lagi sisa. Aku sendiri sudah berjanji tak akan membongkar rekeningku di bank lain kecuali terpaksa. Karena memang kusiapkan untuk membeli kamera digital yang kuidamkan sejak lama.

Aku pun kembali manyun. Bertanya-tanya, darimana aku bisa mendapatkan uang? Dimana lagi aku bisa menjual karya berupa untaian kata dan paragraf yang enak dibaca itu?


****

Kunyalakan sebuah rokok kretek. Menthol. Ya, memangnya kenapa? Tidak, aku tak takut mandul. Toh, aku pernah membaca artikel yang mengatakan kalau tidak benar menthol itu bisa mengakibatkan kemandulan. Lagi pula, rokok menthol itu lebih enak. Rasanya lebih gurih dan segar.

Kuhisap dalam-dalam, asapnya kukeluarkan lembut. Ah, sedap benar. Mungkin memang benar rokok punya zat yang bisa mengendorkan saraf. Aku merasa sedikit tenang.

Sejujurnya, menjadi orang jobless membuatku stress. Bingung tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada lagi gairah menggebu. Tak ada hasrat tinggi untuk beraktifitas. Aku jadi sering melamun. Sering tidur. Entah berapa puluh DVD yang kulahap. Bahkan rutinitas baruku yaitu menonton tivi seharian, sesuatu yang hampir tak pernah kulakukan sebelumnya.

Kuraih bantal dan merebahkan kepala. Mataku memandangi plafon kamar. Otakku pun mulai berputar, mem-flashback kembali kejadian-kejadian menyenangkan yang pernah aku alami. Gambaran mantan kekasihku tiba-tiba muncul. Mataku mulai terpejam, otakku bekerja lebih keras mencari, dan menggali memori dalam ingatan. Siapa tahu, aku masih bisa menikmati lagi secercah memori indah itu.

Ah ya, sudah mulai nampak. Aku dan dia berada di sebuah mobil. Aku sedang memegang stir, mobilnya. Masih aku ingat benar, mobilnya sama persis dengan punyaku. Jenis mobil MPV (Multi Purpose Vehicle), selevel lebih rendah dari Kijang. Mobilnya lebih baru dari punyaku. Katanya sih ukurannya lebih besar dan jauh lebih irit.

Oh. Rupanya dia sedang tidur. Kelihatannya kecapekan. Bagaimana bisa aku melupakan wajah itu? Begitu cantik dan polos. Usianya memang jauh lebih dewasa dariku. Tapi, kadang kelakuannya masih mirip anak kecil. Lucu. Begitu energik dan penuh semangat. Seakan tak ada apapun yang bisa menghalanginya. Itu salah satu sifatnya yang kukagumi. Melihatnya, aku merasa lebih hidup.

Tidurnya nyenyak sekali. Wajahnya begitu damai. Seperti baterai yang sedang di charge. Aku tahu, nanti kalau dia sudah bangun, pasti energinya sudah kembali. Ah aku tak sabar menantinya. Alunan lagu Lea milik Toto mengalir dari CD player mobilnya. Mendengarkan musik di mobil rasanya memang beda. It feels good.

Yang aku ingat, setelah itu kita naik kapal Feri, melintasi Selat Madura. Aku ingat, kita berdua berdiri di atas dok kapal yang sepi. Ditengah dinginnya angin laut yang menusuk daging, kugandeng tangannya, memandang menerawangi pijaran lampu kota Surabaya yang tampak dari kejauhan. Indah sekali, dan romantis tentunya. Dari tempat kita berdiri, lelampuan itu tampak seperti ribuan titik-titik menyala yang mewarnai pekatnya langit malam. Aku ingat, saat itu aku berkata dalam hati, “malam ini tak akan kulupa seumur hidupku,”.


****

Aku terbangun. Masih di kamar. Entah, sudah berapa lama aku tertidur. Ini memang bukan kali pertama terjadi. Saat dimana aku berharap agar waktu dapat mundur kembali. Agar aku bisa mengalami lagi semua kejadian indah itu. Padahal aku sepenuhnya sadar bahwa itu tidak mungkin. Karena roda kehidupan pasti akan selalu berputar.

Kulihat jam dinding, pukul setengah satu pagi. Berarti, hampir lima jam aku terlelap. Ah, aku benci. Aku benci membiarkan waktu terus berjalan tanpa melakukan apapun. Saat ini, aku benci tidur.

Saat itulah aku menyimpulkan, aku sedang sakit. Bukan jasadku, tapi raga. Jiwaku yang terganggu. Kadar serotonin dalam otakku menurun. Tapi, bagaimana aku harus mengatakannya kepada mama? Adakah obat untuk menyembuhkannya? Apakah aku harus bertemu terapis? Dimana harus mencarinya?

Berbagai pertanyaan terus mengiang-ngiang di kepalaku. Menghantui, tanpa bisa kucari jawabannya. Kehilangan pekerjaan dan cinta, membuat gairah hidupku menghilang. Dan, aku tak tahu bagaimana cara mengembalikannya.

danevil, 30 November 2004

No comments: