Monday, August 08, 2005

A Place Called Heaven

Semalem ada film The Beach di RCTI. Like I said, gw sebenernya nggak pernah nonton tipi. Karena kebetulan remote-nya kepencet aja. Well, film itu udah pernah gw tonton waktu SMA dulu. Tapi, nggak ada sedikit pun memori yg bisa menggambarkannya. Because, I don’t get it. Gw gak paham! wekekeke.

Dan kemaren, meski nggak ngeliat dari awal, gw langsung menjudge kalo, yeah this is a great movie. Bagus banget! This kind of movie yg bisa ngebikin gw turn on, well, in a positive way of course.

Film yg diadaptasi dari buku Alex Garland ini nyeritain pencarian manusia terhadap suatu secret spot, yang disebut “surga”. Ini adalah sebuah kritikan terhadap kehidupan manusia modern yang begitu terikat dengan rutinitas, uang, serta teknologi.

Berbekal sebuah peta, sampailah Richard (Leo DiCaprio) ke pantai itu. Pantai yg begitu cantik, terisolasi, terpencil, serta penuh dengan ladang ganja. Yeah, great dope is come from Thailand. Itu kata temen satu kost gw yg dari Medan. ”Selinting aja loe udah klenger!” kata dia. Superb lah.

Well eniwei, disitu udah ada seklompok orang yg terlebih dulu dateng. Ngebentuk sebuah tribe, persis acara reality show Survivor. Singkat cerita, bergabunglah Richard dkk disana.

Surga, yg dimaksud disini adalah kembali ke kehidupan primitif. Bebas melakukan apapun. Loe nggak perlu kerja nyari duit, nggak perlu bingung bayar apartemen, nggak perlu terikat rutinitas.

Jadi kerjaannya tiap hari tidur2, main voli pantai, berenang, nongkrong di pinggir pantai, bercinta, dan tentu saja nyimeng sampe mampus. Hehehe. Sounds fun huh? Itu bener2 divisualisasikan dengna sempurna oleh sutradara Danny Boyle.



Ehm, lanjut. Eniwei, film nggak akan nendang without good conflict right? Dari adegan2 awal yg begitu membahagian, mulailah emosi penonton dimainkan dengan rajutan konflik yang mengalir.

Mulai dari kopian peta yang mendatangkan turis2 yg juga ingin mencari the beach (hello? Suppose you’ve found heaven, of course you want to keep it for yourself wouldn’t you?), konflik dengan petani ganja (ya iyalah, mereka nggak mau ladang ganja mereka ketauan!), serta konflik batin yg dialami Richard sendiri (is not surprise, berada di tempat terisolasi plus dikucilkan dengan anggota suku lain bisa ngebuat orang jadi gila!).


Dan yang ada selanjutnya “surga” ini turn out menjadi sangat kejam. Bayangan, demi menjaga kerahasiaan, serta tidak-ingin-merusak-kesenangan-yang-ada-disurga, sederet pengorbanan malah dilakukan.

Misal, karena nggak tahan ngedenger rintihan salah satu anggota suku yg kakinya infeksi lantaran digigit hiu saat mencari ikan, anggota suku yg lain bukannya ikut menolong, tapi malah sepakat untuk “mengucilkannya” ke tengah hutan. Damn.



“To me it was clear, the more contact we had with the outside world, the more we would be corrupted, the sooner we would be discovered. The only way to survive was to cut ourselves free”

Ia juga berujar dalam narasinya, “setelah kejadian itu, kehidupan kami memang kembali normal dan menyenangkan. Tapi, bukan berarti kami bisa melupakan,”. Fiuh, so much for a heaven huh?

Dan pada akhirnya, para petani yang semakin terganggu dengan turis2 yg mulai berdatangan mendatangi suku, dan menyuruh mereka pergi. In the end, Richard pun kembali lagi ke kehidupan asalnya, kehidupan modern.

Dan, di akhir narasi ia mengatakan, kalau “surga” yang ia cari itu justru berada sangat dekat dengannya. Tepat ketika ia membuka inbox imelnya, berisi pesan dari bonyoknya, “where are you?”.

Film ini menunjukkan bagaimana manusia yg ngerasa sumpek dengan hidupnya, atau at least kehidupan modern saat ini, hingga berusaha menciptakan “surga”-nya sendiri. Tapi begitulah, apapun yg dibuat manusia, pasti vurnerable alias nggak akan abadi.



Disisi lain gw jadi mikir, di kehidupan modern seperti skarang, seakan apa yg harus kita lakukan sudah di plot sedemikian mungkin. Dari kecil, kita harus belajar biar pinter. Abis kuliah, cepet2 cari kerja. Dan demi mendapat uang itu, kita harus menjalani rutinitas yang samaaa setiap harinya. Pagi berangkat, lunch, sore pulang, malem tidur, pagi brangkat lagi. Persis robot.

Jadi kapan kita punya waktu untuk diri kita sendiri?

No comments: