This is the story of my life. Its sad, its pathethic, its crazy, its silly, its stupid, its fun, and its me!! Its all about me!
Monday, October 31, 2005
Fiona Apple
Setelah enam tahun absen, penyanyi pop Fiona Apple kini muncul dengan Extraordinary Machine. Seperti apa?
Cewek manis bermata hijau ini mengawali karir pada 1996 lewat debut Tidal. Musik pop sarkastis dengan lirikal satir dan therapeutic, mengantarnya menjadi artis multiplatinum (terjual tiga juta kopi), dan memenangi satu penghargaan Grammy.
Tiga tahun setelahnya, Apple kembali dengan album kedua, When the Pawn…, sebuah album dengan judul 90 kata tanpa jeda. Kendati dipuji banyak kritikus, namun album tersebut gagal secara komersial.
Sejak itu, namanya tak lagi terdengar. Satu-satunya kabar tentang dirinya, yakni perpisahannya dengan sutradara film Paul Thomas Anderson pada 2001. Apple kemudian hidup menyendiri, pindah ke rumah pantainya di kawasan Venice, Los Angeles, dan hidup dengan anjing Staffordshire Terrier-nya yang bernama Janet.
Apa saja yang dilakukannya selama itu, Apple berharap dapat memberikan jawaban serta penjelasan yang berarti. ”Karena memang saya tidak melakukan sesuatu yang berarti. Saat itu saya merasa tidak ingin menulis lagu atau melakukan apapun,” jelasnya.
Ia mengisi hari-harinya dengan duduk di halaman belakang rumahnya. Dan bermain-main dengan biji cemara. ”Saya membuat orang-orangan mungil menggunakan biji cemara dan sebuah pisau lipat,” kenangnya.
Masa-masa itu dirasakan sangat berat bagi Apple. Bahkan, ia merasa ingin meninggalkan karirnya sebagai penyanyi untuk selamanya. ”Saya berfantasi, bekerja di Green Chimneys, New York. Tempat itu memberikan terapi untuk anak-anak menggunakan hewan ternak. Saya pikir impian saya disitu. Tapi ternyata musik terus memanggil saya kembali,” ujar gadis berambut ikal ini.
Ganti Produser
Pada 2002, Apple merasa siap untuk kembali rekaman. Digamitlah Jon Brion, produser album When the Pawn…, untuk membantunya di studio. Sayangnya chemistry antara Apple dan Brion tidak lagi se-intens dulu. ”Ketika Jon memainkan sebuah lagu, saya tidak bisa mengatakan apakah saya menyukainya atau tidak,” paparnya.
Hasilnya, formula pertama Extraordinary Machine tidak memuaskan. Bagi Apple, juga Epic Records, divisi Sony BMG. ”Mereka (Sony) merasa tidak ada lagu yang bisa mencetak hit,” urai Apple.
Karena itu, Apple berusaha untuk merekam ulang lagu-lagunya dengan produser Mike Elizondo, yang biasa bekerja sama dengan artis sekelas Eminem dan Dr. Dre.
Sampai disitu, kata Apple, semuanya berjalan lancar.
Tapi ternyata, kepercayaan Sony terhadap dirinya ternyata belum pulih. Pihak eksekutif Sony meminta Apple untuk menyerahkan lagunya satu persatu. Tentu saja, sebagai penyanyi dan penulis lagu, ia merasa tersinggung.
”Saya pikir itu ide yang buruk. Secara tidak langsung, itu berarti kalau mereka (Sony) tidak suka dengan lagu saya, mereka dapat berusaha untuk mengubahnya. Mereka juga memotong anggaran rekaman saya,” ujarnya.
Untuk menggarap versi awal Extraordinary Machine, Sony telah mengeluarkan dana sebesar USD 800 ribu. Pada titik itu, Apple mengungkapkan kekecewaannya dengan berkata, ”saya berhenti!”. Belakangan, juru bicara Sony, Lois Najarian, membantah hal ini dan menganggapnya sebagai miskomunikasi biasa.
Tepat disaat itulah, Apple menyadari bahwa materi lagu yang direkamnya dengan Brion bocor, dan tersebar di internet. Tentu saja Apple kecewa berat. ”Siapa yang akan rela membayar lagu-lagu saya bila sudah tersebar di internet?,” pikirnya saat itu. ”Rasanya sangat aneh. Seperti ada orang yang membaca diari saya, mencetak dan menyebarkannya,” tambahnya.
Didukung Fans
Namun, yang tidak diketahui Apple, yakni fansnya yang selalu berada dibelakangnya. Para fans itu, mendesak Sony untuk segera merilis Extraordinary Machine. ”Tolong beri kami Fiona, dan kami akan mengembalikan uang Anda!,” tulis salah satu post di situs www.freefiona.com.
Tak cukup dengan sekedar post di internet. Mereka juga mengirimkan ratusan puisi, buah apel, serta kertas bergambar apel yang dikirim ke kantor Sony BMG di Madison Avenue. Tak jarang, mereka juga datang langsung, dan melakukan aksi protes sembari berteriak, ”kami ingin Fiona!”.
Hal itu, yang kemudian menyadarkan Apple. ”Saya langsung menangis. Karena, Ya Tuhan, orang-orang ini begitu peduli pada saya. Saya merasa tergerak,” kenangnya. Alhasil, pada Oktober lalu, Extraordinary Machine, album ketiga sepanjang satu decade karirnya resmi dirilis dibawah label Epic.
Tentang album ini, kata Apple, dirinya mengubah lirik lagu yang stressfull dan depresif, dan menjadikannya joyful. ”Saya tidak ingin menderita setiap saat,” urainya.
Ia menganalogikan album ini sebagai percakapan dengan dirinya sendiri, dibanding berteriak ke seseorang. ”Saya menggambarkan diri saya saat menulis lagu, lebih personal, dan tidak dipenuhi amarah,” paparnya. Karena itu, soundnya lebih pelan. Sebuah gabungan antara fusion, jazz, dan electronica yang emosional.
Satu lagi, kata Apple, mantan pacarnya, Paul Thomas, tak mempengaruhinya secara spesifik dalam lirik-liriknya. ”Setelah putus dengan Paul, saya sudah menjalani hubungan lagi. Paul memegang peranan penting dalam hidup saya, tapi lagu-lagu di album ini terinspirasi dari semua hubungan saya. Ada beberapa lagu dan bait yang secara jelas mengarah ke satu orang, atau situasi tertenu. Bila orang itu membacanya, mereka akan tahu,” paparnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment